Sabtu, 14 Januari 2012

Pendidikan Anti Korupsi 2

PEMBAHASAN
Konvensi PBB mengenai Melawan Korupsi (United Nations Convention Against Corruption/UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia belum terwujud atau terlaksana sepenuhnya di dalam UU yang berlaku. Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan M Jasin mengatakan, beberapa pasal dalam UNCAC masih belum terdapat secara jelas dan terperinci dalam UU yang berlaku. Menurut Jasin, pasal yang belum terlihat antara lain Pasal 21 UNCAC tentang penyuapan di sektor swasta. Tindak pidana korupsi yang murni terjadi di sektor swasta memang belum ter-”cover” (tercakup,) oleh UU ,” katanya. Hal itu, ujar dia, antara lain membuat tindak pidana korupsi di sektor swasta tumbuh dan berkembang dengan subur.
Selain itu, Jasin juga mengemukakan tentang Pasal 15 UNCAC tentang penyuapan pejabat publik dan Pasal 16 UNCAC tentang penyuapan pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional. Ia menuturkan, Pasal 15 UNCAC telah banyak terwujud namun sebenarnya dapat ditambahkan dengan tindak pidana korupsi sebelum suap itu sendiri sudah berpindah tangan dari pelaku kepada penerima suap. Sedangkan Pasal 16 UNCAC belum terlaksana karena perbuatan suap masih didefinisikan terkait dengan pejabat publik RI. Jasin mencontohkan, pihaknya pernah menemui tindak suap yang dilakukan oleh WNA yang bekerja di lembaga internasional terhadap pejabat di Indonesia. Namun, lanjutnya, organisasi internasional itu meminta agar WNA itu dilepaskan karena dianggap tidak bisa diadili sesuai dengan UU yang berlaku di Indonesia .
KPK menganggap perlu mengangkat wacana kerja sama antara sektor publik dengan sektor swasta dalam melawan budaya suap, berdasarkan kewajiban Indonesia sebagai negara yang sudah meratifikasi UNCAC. Sementara itu, pembicara lainnya pengacara Rahmat Soemadipradja mengatakan, ratifikasi UNCAC merupakan langkah besar yang ditempuh oleh Indonesia yang menunjukkan keseriusan bangsa Indonesia dalam memberantas korupsi. Hal ini karena dalam UNCAC diatur mengenai korupsi pada sektor swasta dan bantuan timbal balik dalam pengembalian aset-aset hasil korupsi dengan negara-negara yang meratifikasi UNCAC. UNCAC dikeluarkan PBB pada 2003. Sedangkan Indonesia telah meratifikasi UNCAC dengan UU No 7/2006 tentang Pengesahan UNCAC pada 18 April 2006.
  1. Implementasi UNCAC
Salah satu bentuk pembenahan sistem yang akan dilakukan KPK antara lain adalah dengan mengimplementasikan sepenuhnya Konvensi PBB mengenai Melawan Korupsi (United Nations Convention Against Corruption/UNCAC) tahun 2003 yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No 7/2006 tentang Pengesahan UNCAC pada 18 April 2006.
Menurut Jasin, beberapa pasal dalam UNCAC masih belum terdapat secara jelas dan terperinci dalam UU yang berlaku, antara lain Pasal 21 UNCAC tentang penyuapan di sektor swasta. Tindak pidana korupsi yang murni terjadi di sektor swasta memang belum ter-’cover‘ (tercakup) oleh UU ,” katanya seraya menambahkan, hal itu antara lain membuat tindak pidana korupsi di sektor swasta tumbuh dan berkembang dengan subur. Selain itu, Jasin juga mengemukakan tentang Pasal 15 UNCAC tentang penyuapan pejabat publik dan Pasal 16 UNCAC tentang penyuapan pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional. Ia menuturkan, Pasal 15 UNCAC telah banyak terwujud namun sebenarnya dapat ditambahkan dengan tindak pidana korupsi sebelum suap itu sendiri sudah berpindah tangan dari pelaku kepada penerima suap. Sedangkan Pasal 16 UNCAC belum terlaksana karena perbuatan suap masih didefinisikan terkait dengan pejabat publik RI. Jasin mencontohkan, pihaknya pernah menemui tindak suap yang dilakukan oleh WNA yang bekerja di lembaga internasional terhadap pejabat di Indonesia. Namun, lanjutnya, organisasi internasional itu meminta agar WNA itu dilepaskan karena dianggap tidak bisa diadili sesuai dengan UU yang berlaku di Indonesia. Untuk itu, KPK menganggap perlu mengangkat wacana kerja sama antara sektor publik dengan sektor swasta dalam melawan budaya suap, berdasarkan kewajiban Indonesia sebagai negara yang sudah meratifikasi UNCAC.
  1. Kerugian Negara dalam tindak pidana korupsi.
Dari sejumlah pasal yang mengatur tindak pidana korupsi, hanya dua pasal yang mengatur tindak pidana korupsi (tipikor) yang merumuskan tentang "merugikan keuangan negara", yaitu Pasal 2 dan 3 UU No 31/1999 dan perubahannya. Walaupun hanya dua pasal, pasal ini sangat favorit dipakai untuk menjerat para pelaku korupsi yang secara keseluruhan telah menimbulkan kerugian negara hingga triliunan rupiah. Ada beberapa pasal yang tidak mengaitkan korupsi dengan keuangan negara, misalnya pasal tentang penyuapan. Seorang pejabat yang menerima suap dari seseorang tidak dapat dikatakan merugikan keuangan negara. Bahkan dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang sudah diratifikasi dengan UU No 7/2006, unsur kerugian negara tidak dimasukkan lagi sebagai salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi. Walaupun demikian, UU No 31/1999 dan perubahannya masih mencantumkan kerugian negara sebagai salah satu unsur korupsi. Tulisan ini menjelaskan berbagai aspek yang terkait dengan masalah kerugian negara dalam tindak pidana korupsi.
Ada beberapa cara terjadinya kerugian negara, yaitu kerugian negara yang terkait dengan berbagai transaksi: transaksi barang dan jasa, transaksi yang terkait dengan utang-piutang, dan transaksi yang terkait dengan biaya dan pendapatan. Tiga kemungkinan terjadinya kerugian negara tersebut menimbulkan beberapa kemungkinan peristiwa yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pertama, terdapat pengadaan barang dengan harga yang tidak wajar karena jauh di atas harga pasar, sehingga dapat merugikan keuangan negara sebesar selisih harga pembelian dengan harga pasar atau harga yang wajar. Korupsi di dalam proses pengadaan barang dan jasa inilah yang paling banyak terjadi di Indonesia. Sering kali proses pengadaan barang dan jasa diikuti dengan adanya suap atau kickbackdari peserta tender kepada pejabat negara. Kedua, harga pengadaan barang dan jasa wajar. Wajar tetapi tidak sesuai dengan spesifikasi barang dan jasa yang dipersyaratkan. Kalau harga barang dan jasa murah, tetapi kualitas barang dan jasa itu kurang baik, maka dapat dikatakan juga merugikan keuangan negara. Ketiga, terdapat transaksi yang memperbesar utang negara secara tidak wajar, sehingga dapat dikatakan merugikan keuangan negara karena kewajiban negara untuk membayar hutang semakin besar. Misalnya pada waktu yang lalu pernah terjadi sebuah bank swasta yang saham mayoritasnya Bank Indonesia menjamin surat-surat berharga dalam jumlah miliaran rupiah yang diterbitkan grup bank tersebut. Ketika surat berharga jatuh waktu, penerbit surat berharga tidak mampu membayar, sehingga bank sebagai penjamin harus membayar. Akibatnya, jumlah utang bank tersebut semakin besar dan menjadi beban bagi pemiliknya untuk membantu penyelesaiannya. Keempat, piutang negara berkurang secara tidak wajar dapat juga dikatakan merugikan keuangan negara. Kelima,kerugian negara dapat terjadi kalau aset negara berkurang karena dijual dengan harga yang murah atau dihibahkan kepada pihak lain atau ditukar dengan pihak swasta atau perorangan (ruilslag). Dapat juga terjadi aset negara yang tidak boleh dijual, tetapi kemudian dijual setelah mengubah kelas aset negara yang akan dijual tersebut menjadi kelas yang lebih rendah, seperti yang pernah terjadi pada salah satu instansi pemerintah beberapa waktu yang lalu. Modus keenam untuk merugikan negara adalah dengan memperbesar biaya instansi atau perusahaan. Hal ini dapat terjadi baik karena pemborosan maupun dengan cara lain, seperti membuat biaya fiktif. Dengan biaya yang diperbesar, keuntungan perusahaan yang menjadi objek pajak semakin kecil, sehingga negara tidak menerima pemasukan pajak atau menerima pemasukan yang lebih kecil dari yang seharusnya.
Di samping itu, kerugian negara dapat juga timbul dengan cara ketujuh, yaitu hasil penjualan suatu perusahaan dilaporkan lebih kecil dari penjualan sebenarnya,sehingga mengurangi penerimaan resmi perusahaan tersebut. Misalnya dengan melakukan transfer picing, di mana perusahaan menjual barang secara murah kepada perusahaan lain di luar negeri yang masih ada kaitan dengan perusahaan penjual. Akibatnya, penerimaan perusahaan lebih kecil dari seharusnya, sehingga objek pajaknya tidak ada sama sekali atau semakin kecil. Menentukan Kerugian Negara Menentukan keberadaan dan besarnya kerugian negara selalu menjadi perdebatan yang sengit antara berbagai pihak, misalnya antara terdakwa dan pembelanya dengan jaksa penuntut umum. Untuk menentukan hal tersebut, selama ini jaksa banyak dibantu ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, atau ahli lain yang ditunjuk. Sudah tentu keterangan dari ahli ini diberikan berdasarkan keahlian atau setelah melakukan semacam audit khusus terhadap instansi atau perusahaan yang menimbulkan kerugian negara. Kalau kerugian negara ini terkait dengan suatu barang yang sulit untuk dilakukan penilaian, misalnya pabrik petrokimia perlu dilakukan penilaian oleh jasa penilai, sudah tentu untuk melakukan penilaian ini perlu dilakukan dengan metode yang prudence dan baku.
Untuk itu perlu diatur tentang metode yang dapat dilakukan jasa penilai agar diperoleh hasil yang standar yang dapat diterima semua pihak. Keterangan ahli ini diperlukan untuk menjelaskan dan membuktikan kerugian negara yang timbul dan berasal dari berbagai transaksi yang disebutkan di atas yang terkait dengan terdakwa. Dalam hal ini, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dapat membantu dengan memberikan laporan hasil analisisnya tentang berbagai transaksi yang menimbulkan kerugian negara tersebut. Di samping itu, PPATK juga dapat membantu melihat perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melihat berbagai transaksi dari pihak-pihak yang terkait, misalnya melihat apakah ada penyuapan (kickback) yang diterima seorang pejabat negara. Mengubah Mindset. Untuk masa yang akan datang sudah saatnyalah untuk mengubah mindset, bahwa tidak perlu mempermasalahkan lagi ada / tidaknya kerugian negara pada suatu tindak pidana korupsi karena beberapa alasan. Pertama, standar internasional seperti yang diatur dalam UNCAC tidak menggunakan unsur kerugian negara di dalam tindak pidana korupsi. Bahkan, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini juga mengatur korupsi di sektor swasta. Kedua, banyak tindak pidana korupsi yang tidak merugikan keuangan negara secara langsung, seperti tindak pidana penyuapan. Dalam hal ini yang dirugikan adalah masyarakat, bukan negara.
Walaupun tidak merugikan keuangan negara,dampak tindak pidana suap ini sangat merugikan pelaku pasar yang secara tidak langsung dapat merugikan perekonomian. Banyaknya suap akan menimbulkan high cost economy yang membuat daya saing pelaku pasar menjadi lemah dan harga barang menjadi lebih mahal. Kesemuanya sudah tentu memberatkan masyarakat. Suap ini sangat merugikan rakyat kecil yang tidak memiliki uang dan kekuasaan. Ketiga, terdapat perlakuan yang sama antara badan usaha milik negara dan perusahaan swasta kalau terjadi tindak pidana yang melibatkan perusahaan tersebut.Dengan perubahan sikap seperti ini, yang disertai dengan perubahan undang-undang yang terkait, maka pemberantasan korupsi menjadi lebih luas dan lebih adil.

D.Dilema Korupsi Dunia Bisnis

Pemberantasan korupsi di Indonesia, tampaknya sulit terjadi dan bahkan menjadi dilematis jika kasus per kasus diurai. Ternyata korupsi telah mendarah daging dan menjadi budaya masyarakat, Seperti yang dikemukakan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Djimanto, yang merasa dalam menjalankan bisnis, kerap kali mereka dengan terpaksa harus melakukan korupsi hanya untuk menjaga terjadinya kerugian yang lebih besar dengan memberi uang pelicin. Ia mencontohkan, seorang pengusaha pernah terpaksa mengeluarkan uang Rp5 juta untuk seorang pejabat publik agar gerbong barang kereta berisi ikan segar yang senilai Rp500 juta yang tersangkut di suatu stasiun dapat dilepaskan agar tiba dengan cepat di Jakarta dari tempat asalnya di Cilacap. Pengusaha tersebut, lanjutnya, terpaksa melakukan suap dengan memperhitungkan antara kerugian Rp5juta untuk membayar pejabat atau kerugian Rp500 juta bila ikannya tidak laku dijual karena tidak lagi segar. “Asal terdapat kejelasan peraturan mengenai berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh pengusaha dalam mengurus bisnisnya, maka pengusaha juga akan siap untuk turut memberantas praktik suap, Menanggapi budaya korupsi yang kerap terjadi dalam berbisnis, Ketua Dewan Pengurus LSM Transparency International Indonesia Todung Mulya Lubis mengemukakan, suap dalam berbisnis masih kerap ditemui antara lain dalam bidang “licensing” (memperoleh izin usaha), pelayanan publik, perolehan kontrak melalui proses tender, dan putusan hukum di pengadilan.
Mengenai suap di lembaga peradilan, Todung berpendapat bahwa besarnya nilai transaksi suap yang terkait dengan hasil keputusan pengadilan antara lain terjadi karena kasus yang dihadapi seringkali terkait dengan “hidup-mati”-nya sebuah perusahaan. “Saya kira tinggi atau besarnya jumlah suap yang terjadi karena obyek sengketa merupakan `business interest` yang menurut pelaku usaha yang terlibat harus diselamatkan `at all cost` (segala cara), Ia juga mengemukakan, kegigihan seseorang atau sebuah perusahaan untuk memenangkan kasus di pengadilan tingkat pertama terjadi karena sangat sukar untuk membalikkan keputusan hakim di tingkat selanjutnya. “Bila anda kalah di tingkat pengadilan negeri, maka sangat tidak mudah untuk membalikkan putusan itu di tingkat pengadilan tinggi atau kasasi (di MA). Todung juga mengatakan, dirinya beberapa kali menemui adanya klien hukum yang awalnya idealis tetapi setelah kalah di tingkat pertama, berpindah ke pengacara lain yang bisa berbuat “apa saja” agar klien tersebut dapat menang di tingkat selanjutnya. Karena itu, situasi yang dihadapi oleh klien hukum di tingkat pertama bisa disebut mirip dengan situasi “do or dying” (hidup atau mati). Hal itu juga membuat suap di pengadilan bisa saja dimasukkan sebagai bagian dari biaya yang harus dikeluarkan suatu perusahaan. Selain itu, pengacara senior itu juga mengingatkan akan banyaknya kekosongan hukum (”legal vakum”) dari beragam UU yang telah disahkan DPR hingga ke tingkat implementasinya di lapangan. Kekosongan hukum tersebut, akan menciptakan peluang bagi sejumlah kalangan mulai dari pejabat hingga pengusaha untuk melakukan tindak korupsi.
Senada dengan Todung, Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan M Jasin mengatakan, maraknya praktek suap di Indonesia mencerminkan kebobrokan sistem tata pemerintahan sehingga harus dilakukan pembenahan sistem yang luas dan komprehensif. Jasin juga memaparkan, KPK melawan budaya suap melalui strategi penindakan “shock therapy” dan mencegah korupsi melalui perombakan sistem sebagai strategi jangka panjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar